Pelarian Parkit

23 11 2007

Oleh: Oom Evin

parkit Sejak berada di dalam sangkar, burung parkit itu selalu murung. Ia merindukan kebebasannya saat masih berada di hutan. Ingin terbang dan bermain riang dengan teman-temannya. Merindukan belaian paruh ibunya. Berburu bebijian di padang ilalang di dekat sarangnya…

            Namun sejak berada di dalam sangkar berjeruji besi putih, si parkit berbulu hijau itu merasa sangat tesiksa. Ia tak pernah bisa terbang bebas lagi. Paling-paling hanya mengepakkan sayapnya atau bergeser sedikit ke kiri, ke kanan atau lompat ke atas ke bawah dan berputar-putar di dalam sangkarnya. Ruang di dalam sangkar itu terasa sangat sempit baginya.

            Setiap hari seorang anak kecil menghampirinya. Menatapnya dengan gembira. Terkadang si anak memberinya aneka bebijian, memberinya air, menyentuhnya, dan mengajaknya berbincang. Namun si parkit tak memahami bahasa manusia. Jika disapa, si parkit membalas dengan kicaunya. Seringkali ia bermohon dalam kicaunya untuk dibebaskan, tetapi si anak tidak memberi respon kecuali tertawa senang.

            Setiap kali si anak menghampiri sangkarnya, si parkit kecil berusaha berkomunikasi. Tetapi harapannya untuk dibebaskan tak pernah terkabul. Maka si parkit kecil pun kecewa dan putus asa. Ia kini banyak berdiam diri dan malas berkicau.

            Lambat laun, melihat perubahan si parkit, tatapan si anak tak lagi segembira pertama kali melihatnya. Sampai pada suatu hari si anak membawakannya seekor parkit lain. Burung parkit berbulu kuning cerah.

            “Halo!” Sapa si parkit kuning.

            “Halo juga,” balas si parkit hijau.

            Kedua parkit pun mulai bersahabat. Hari demi hari semakin akrab. Tapi kegembiraan mereka hanya berlangsung sesaat. Suatu hari si parkit kuning berkata.

            “Eh, kenapa kamu selalu murung?” tanya si parkit kuning.

            “Ah, aku tak suka tinggal di sangkar ini… aku merindukan terbang bebas seperti dulu,” jawab si parkit hijau.

            “Hmmm… aku pun begitu. Tadinya kupikir kita bisa hidup lebih nikmat di sangkar, tapi ternyata tidak,” kata si parkit kuning.

            “Apa enaknya sih hidup di dalam sangkar. Memang makanan di sini enak-enak, tetapi kita tak pernah bisa menikmati kebebasan kita. Tak bisa terbang sesuka hati, tak bisa berkumpul bersama ibu dan saudara. Tak bisa bermain dengan teman-teman di hutan…”

            “Kau benar… aku sudah berminggu-minggu berpindah sangkar. Walau awalnya aku senang hidup di sangkar karena makanan tak pernah kurang, tapi lambat laun aku pun merasa tersiksa. Sayapku semakin hari semakin lemah karena tak pernah bisa digunakan untuk terbang bebas lagi…”

            “Huh, sampai kapan kita hidup menderita di dalam sangkar begini ya, Kuning…”          

            Keduanya terdiam.

            “Eh, aku punya ide…,” ujar si parkit kuning.

            “Ide? Ide apa?”

            “Bagaiman kalau kita melarikan diri dari sangkar ini?”

            “Melarikan diri?” si parkit hijau bingung. “Coba lihat sangkar ini. Jerujinya rapat dan terbuat dari besi. Pintunya elalu terkunci. Mana bisa kita meloloskan diri dari kurungan seperti ini…”

            “Eh, kubilang melarikan diri… bukan menerobos jeruji ini.”

            “Maksudmu?”

            “Begini,” Si parkit hijau menerangkan maksudnya. “Kita pura-pura mati saja. Nanti si anak pasti akan mengeluarkan kita dari sangkar. Nah, begitu kita berdua berada  di luar sangkar, kita langsung terbang melarikan diri… Bagaimana?”

            “Wah, boleh juga usulmu.”

            Maka kedua parkit itu pun sepakat untuk menjalankan aksinya. Mereka berdua pun pura-pura mati. Membiarkan tubuhnya tampak lunglai dan tegeletak di alas sangkar. Diam tak bergerak sama sekali.

            Melihat kedua parkitnya diam tak bergerak. Si anak kecil berlari mendekat. Ia mengamati kedua parkit itu yang tampak lunglai.

            “Aduh… apa yang terjadi!” jeritnya. “Papa… lihat deh! Burung ini kok diam tak bergerak, sih?”

            Si anak menurunkan sangkar itu ke lantai. Mengguncang-guncangnya dengan penasaran. Namun kedua parkit itu tetap diam tak bergeming.

            “Coba papa lihat!” ucap papanya. “Hmmm… aneh!”

            “Keluarkan saja, Pa!” teriak si anak. “Deny mau lihat… barangkali mereka mati!”

            “Ah, masa mati, sih! Tadi pagi kan masih baik-baik saja, kok!” kata papa sambil membuka pintu sangkar. “Coba papa periksa dulu, deh! Kamu ambil kain kering yang lembut, ya…”

            Deny berlari cepat dan kembali dengan secarik kain bekas selimut. Sementara papa mengeluarkan si kuning. “Hmmm, badanya masih hangat… sepertinya mereka belum mati, Den!”

            Papa kemudian meletakkan si kuning di atas kain. Lalu meraih si parkit hijau. “Hmmmm, yang ini juga badannya masih hangat!”

            Keduanya di letakkan di atas selimut bekas. Kedua parkit itu masih juga diam tak bergerak.

            “Kita bawa ke dok…”

            Belum selesai kalimat Deny, tiba-tiba kedua parkit itu bangkit dan dengan cepat mengepakkan sayapnya. Deny menjerit kaget. “Hey, burungnya terbang, Pa!”  

            Kedua parkit itu dengan sigap terbang menuju jendela yang terbuka. Keduanya berkicau riang… “Kita bebas!”

            Dan mereka pun terbang tinggi meninggalkan Deny dan Papa… *


Aksi

Information

Satu tanggapan

4 04 2009
Hadiat Iskandar

Saya senang sekali dengan burung parkit ini. Namun ada kendala tentang bagaimana makanan yang sehat bagi burung, dan antisipasi ancaman flu burung? Biasanya tetangga selalu curiga takut menjadi sumber flu burung. Padahal kalau rajin burung itu dipelihara dan ditangkarkan akan mempunyai nilai ekonomi bagi sipenangkar burung tersebut. Siapa yang dapat memberi penjelasan tentang mengatasi kedua masalah diatas?

Tinggalkan Balasan ke Hadiat Iskandar Batalkan balasan